Kuliner Pecel


REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Siapa yang tak kenal kuliner tradisional pecel? Hampir sebagian besar masyarakat terutama di Pulau Jawa tentu pernah melihatnya. Bahkan, beberapa di antara masyarakat pernah ada yang menyicipinya.

Antropolog dari Universitas Brawijaya (UB), Ary Budiyanto menjelaskan, kuliner pecel di masa lampau lebih sering merujuk pada teknik memasak seperti melumuri atau menyiram. Makna ini telah tertera dalam sejumlah tulisan kuno termasuk pada naskah Sanghyang Siksakanda Ng Karesian (nomor Kropak 630). Naskah ini ditulis sekitar 1440 Saka atau pada 1518 Masehi (M).

Menurut Ary, pecel dalam teks-teks kuno biasanya selalu disandingkan dengan ayam jadi. Beberapa penyebutannya seperti pecel ayam, pecel dhere atau babon muda. "Atau hayam danten dengan saus atau sambal yang berbahan salah satunya santan lalu dipanggang," kata Ary kepada Republika, Selasa (14/5).

Berdasarkan keterangan ini, saus atau sambal dalam kuliner tersebut kini dikenal dengan bumbu pecel. Alias, bumbu yang digunakan untuk kuliner pecel-pecelan. Atau, bisa juga bumbu siraman ayam untuk dipanggang.

"Jadi tidak ada hubungannya dengan pecel sayur kah? Nah begini cerita selanjutnya!" jelas Ary.

Sayuran yang disajikan mentah di abad kuno hingga Centhini lebih dikenal dengan nama lelawaran (lawar). Sementara sayuran matang (kukus/godog) dikenal hingga kini sebagai kuluban. Kuluban di sini serupa dengan istilah urapan, godhangan, atau meniran.

Di era kini, ia menambahkan, terdapat bahan sayur mentah di Jawa yang disebut trancam. Semua sesajian tersebut biasanya menggunakan parutan kelapa agak tua sebagai penyedap. Kadang parutan kelapa agak tua ini dikukus dahulu, baik hanya dicampur garam atau gula merah maupun terasi atau belacan.

Sementara untuk lawar biasa, kata dia, ini dicampur dengan darah. Kuliner ini masih mudah dijumpai di Bali sampai sekarang. "Jadi bilamana ada perubahan penyajian menjadi sayuran yang dilumuri atau siram dengan sambal pepecelan, itu adalah suatu proses yang wajar," jelasnya.

Menurut Ary, perubahan penyajian tak lepas ritual mengonsumsi pecel ayam/pitik/dhere. Kuliner ini biasanya disajikan bersama dengan lawar atau kuluban. Lalu apabila bahan ayam tidak tersedia, maka hanya kuluban dan bumbu pecel yang tersisa.

"Maka jadilah pecel jejanganan alias sayuran. Sambal atau saus bumbunya pun pastinya disebut juga dengan istilah bumbu pecel alias bumbu siram," ujar Ary.

Di sisi lain, Ary sendiri tak tahu persis bumbu pecel ayam sudah menggunakan kacang atau tidak di masa lalu. Namun di sini dia mencoba merujuk salah satu bumbu yang masih digunakan sampai saat ini. Antara lain serundeng atau parutan kelapa yang disangrai.

Serundeng di sini juga bisa berupa parutan kelapa yang ditumbuk halus. Bumbu ini diperuntukkan sebagai saus atau sambel lumuran. Atau, terkadang memakai tahi minyak kelapa alias blondo.

"Lalu darimana pastinya bumbu pecel kacang yang kita kenal itu berasal akarnya?" terang Ary.

Ary mengutarakan, sejak zaman kuno hingga masa Centhini terdapat masakan yang dikenal dengan rurujakan atau rujak. Kuliner ini bisa berbahan buah maupun sayur atau campuran keduanya seperti di rujak cingur. Menu ini biasanya berbumbu gula merah, bawang putih, kencur, daun jeruk purut, terasi atau petis, asam jawa dan garam.

"Dengan tambahan wijen, inilah yang mungkin nantinya berganti kacang menjadi asal muasal bumbu pecel kacang yang legendaris," tambahnya.

Di sisi lain, Ary berpendapat, bumbu pecel kacang bisa juga tercipta dari pengaruh luar negeri. Lebih tepatnya, pada perjumpaan saus kacang Portugis dengan menu serupa dari Cina. Saus kacang Cina menggunakan kecap dan/atau petis.

"Kemudian bertemu dalam dapur kuliner orang Jawa sehingga terciptalah: Karedok dan Kethoprak Betawi, Gado-gado, Tahu Tek Jawa Timuran, dan Tahu Gimbal Semarangan, atau varian kuliner lain yang dikenal dengan nama nasi/lontong tahu kecap," tegas Ary.

Kuliner-kuliner tersebut, menurut Ary, bisa jadi  bentuk pecel baru. Dengan kata lain, menu hibrid sekaligus kosmopolit di Jawa abad 19-an.  "Perlu diketahui pula ada kuliner yang telah lama hilang yakni plencing yaitu pecel sayur dengan bumbu rujak seperti di atas yang dikucurin jeruk pecel/nipis. Rujak cingur bisa jadi adalah varian dari inovasi semacam ini," terang Ary.

Selain itu, Ary juga menemukan catatan menarik lainnya terkait pecel. Dia menemukan, bahwa penjaja atau penjual rujak, urapan, dan pecel di masa dahulu biasanya satu paket. Dari sini, ia menduga, kalangan tersebut sebagai pencipta bumbu kacang untuk pecel sayur.

"Pecel sayur yang mungkin mulanya digado kemudian disajikan dengan teman lontong, kupat, atau nasi," jelas Ary.

Di kesempatan tersebut, Ary juga mencoba menjelaskan, waktu penyajian pecel di masa lampau. Berdasarkan naskah kuno, pecel dimasukkan sebagai makanan pesta. Hal ini bukan berarti tidak hadir dalam menu sehari-hari sehari-hari.

Menurut Ary, pesta ritual di kampung maupun kota pada masa kuno bisa menjadi mingguan, bahkan harian. Oleh sebab itu, pecel kemungkinan akan selalu hadir di sesajian pesta atau ritual. Apalagi, kata dia, pecel di Jawa dianggap salah satu uba rampe (perlengkapan--red) dalam selametan.

#mas ari budi antropolog UB, suami bu efi dosen bahasa sekolah tinggi agama Budha




Sejarah Kuliner Pecel

1. Bagaimana perkembangan awal pecel di masa awal2?
Kosa kata pecel-pecelan menurut Swandayani (1989) dalam thesisnya yang berjudul Makanan dan minuman dalam masyarakat Jawa kuno abad 9-10 M : suatu kajian berdasarkan sumber prasasti dan naskah dan juga tulisan HIR Hizler (2016) tentang  ETEN EN DRINKEN IN JAVA 800 – 1600 AD EN ERNA serta dalam cuplikan Indrakarona Ketaren (2017) di Sunda kuno: Sanghyang Swawar Cinta (nomor Kropak 626) ditulis pada abad ke-17 dan Naskah Sanghyang Siksakanda Ng Karesian (nomor Kropak 630) ditulis tahun 1440 Saka atau pada tahun 1518 Masehi, dalam seringkali merujuk pada teknik memasak yakni memasak dengan melumuri atau menyiram. Biasanya dalam teks-teks kuno ini selalu disandingkan dengan ayam jadi (pecel ayam, pecel dhere atau babon muda [jw] atau hayam danten [sd]) dengan saus atau sambal yang berbahan salah satunya santan lalu dipanggang. Saus atau sambal inilah yang pastinya disebut dengan bumbu pecel alias bumbu yang digunakan untuk kuliner pecel-pecelan atau siraman ayam untuk dipanggang.
Jadi tidak ada hubungannya dengan pecel sayur kah? Nah begini cerita selanjutnya.
Sementara itu, sayuran atau tepatnya jejanganan yang dibuat dan disajikan mentah atau atah-atah di abad kuno hingga Centhini lebih dikenal dengan nama lelawaran (lawar) dan yang matang (kukus/godog) kita kenal hingga kini sebagai kuluban. Kuluban ini juga dikenal dengan istilah urapan, godhangan, atau meniran. Di zaman sekarang janganan/sayuran lain yang berbahan sayur mentah di Jawa ada trancam. Semua sesajian tersebut bisa dipastikan menggunakan parutan kelapa agak tua sebagai penyedap, kadang kala parutan kelapa agak tua ini juga dikukus dahulu baik hanya dicampur garam, atau gula merah, ataupun terasi/belacan. Sementara lawar biasa dicampur pula dengan darah dan ini masih mudah dijumpai di Bali. Jadi bilamana ada perubahan penyajian menjadi sayuran yang dilumuri/siram dengan sambal pepecelan adalah suatu proses yang wajar karena pecel ayam/pitik/dhere ini dalam ritual disajikan bersama dengan lawar atau kuluban. Sehingga bilamana ayamnya sudah tidak ada dan yang tersisa hanya ada kuluban atau lawarnya saja dengan ‘bumbu pecel’-nya aja maka jadilah pecel jejanganan alias sayuran. Sambal atau saus bumbunyapun pastinya disebut juga dengan istilah bumbu pecel alias bumbu siram!
Tidak diketahui persis pecel ayam ini dibumbui dengan bahan apa saja apakah juga memakai kacang jawa kuno yang dikenal dengan nama ‘atah pihan’? Atau kacang-kacangan lainnya seperti informasi dari Centhini? Hanya saja jika kita merefleksikan bumbu pecel ayam yang masih ada hingga sekarang maka perlu diingat pula bahwa serundeng atau parutan kelapa yang disangrai pun seringkali ditumbuk halus menjadi saus atau sambel buat bumbu lumuran atau memakai tahi minyak kelapa alias blondo. Jadi, jelas bahwa keterangan makanan pecel-pecelan di abad 9-17 bukanlah pecel yang berupa sayuran (baik mentah maupun matang). Jika boleh menduga-duga maka bumbu pecel ayam semacam ini boleh jadi akan selalu memakai daun jeruk purut dan jeruk nipis (karenanya sering juga disebut sebagai jeruk pecel) sebagai penggugah rasa sekaligus penghilang amis daging dan juga rerempahan lainnya semacam kencur selain yang pasti adalah bawang putih.
Meskipun di naskah kuno makanan pecel-pecelan ini dimasukkan sebagai makanan pesta bukan berarti ini tidak hadir sehari-hari karena pesta ritual semacam ini dikampung maupun kota di masa kuno bisa menjadi mingguan (bahkan harian) karena akan selalu hadir disesajian dari rumah ke rumah tetangga sekitar yang punya hajat ritual/pesta. Dikaranakan masakan pecel-pecelan di Jawa merupakan salah satu uba rampe dalam selametan sebagaimana ayam inkung (bahannya biasanya ayam jantan atau jago).
Hingga di zaman Centhini (awal abad 19) pepecelan ini masih dikenal dan bahkan berkembang inovasi seleranya. Jadi, selain pecel ayam atau pitik dikenal juga pecel ulur pitik, pecel pitik trondol, pecel trombo (iwak?), pecel jowan (punai), pecel kulit (rambak?), dan pecel iso. Namun di zaman Centhini ini pula istilah pecel yang mandiri, yang mungkin saja merujuk pada pecel jejangan, baru ditemui (pupuh 198. Dur. bait 1-2) saat Cebolang berada di Klaten singgah di rumah Ki Harsana saat plesir disekitar Candi Prambanan. Informasi dari Centhini ini maka bisa dibayangkan bahwa pecel baik yang diduga pecel sayur ataupun pecel ayam sudah menjadi makanan keseharian karena ada juga yang di jual saat keramaian pasar malam tanggapan wayang kulit. Perjalanan Mas Cebolang di daerah Tembayat Klaten di naskah Centhini dikenal bumbu pecel yang unik yakni [bumbu] pecel [dari] bubuk wijen (masih ada ditemukan di Solo baik yang wijen putih maupun hitam) atau kacang dhele atau kacang ijo. Masuknya kacang tanah ke Indonesia pada awal abad ke-17 yang dibawa oleh pedagang Cina dan Portugis. Hingga kemudian pada pertengahan abad ke 17 bangsa Belanda membawa benih kacang dari Brasil ke Indonesia, yang bisa jadi karena melihat potensi pasar, dan inipun pastinya kemudian memperkaya ragam bumbu pecel ini.

Karena di Centhini belum disebutkan bumbu pecel berbahan kacang tanah, maka mungkin setelah abad Centhini bumbu pecel kacang tanah baru mendapatkan hati di citarasa orang Jawa yang bisa jadi menggantikan bumbu pecel yang berbahan pecel wijen atau kacang dhele atau kacang ijo. Sampai pada tahun 1864 dalam resep Kokki Bitja (Cornelia, 1864) masih dikenal petjel (ditulis petjal) ayam dan variannya, jadi belum ada catatan petjel sayur diradar orang eropa saat itu [?]. Tapi darimana pastinya bumbu pecel kacang yang kita kenal iti berasal akarnya? Sejak zaman kuno hingga masa Centhini ada masakan yang dikenal dengan rurujakan atau rujak yang bisa berbahan buah maupun sayur atau campuran keduanya (ada di rujak cingur) yang berbumbu gula merah, bawang putih, kencur, daun jeruk purut, terasi atau petis, asam jawa dan garam dengan tambahan wijen inilah (yang mungkin nantinya berganti kacang) menjadi asal muasal bumbu pecel kacang yang legendaris. Bumbu rujak sayur yang berbahan segar ini dikenal di Yogyakarta dengan nama lotek. Dimana kacang tanah sebagai bumbu sudah biasa ditaburkan dan diulek atau dihaluskan bersama dengan bumbu rujak sayur ini.

Bisa jadi pula bumbu pecel ini tercipta dari perjumpaan peanuts butter alias saus kacang bangsa Portugis ini bertemu dengan tradisi saus kacang Cina yang menggunakan kecap dan/atau petis bertemu dalam dapur kuliner orang Jawa sehingga terciptalah: Karedok dan Kethoprak Betawi, Gado-gado, Tahu Tek Jawa Timuran, dan Tahu Gimbal Semarangan, atau varian kuliner lain yang dikenal dengan nama nasi/lontong tahu kecap. Kuliner-kuliner tersebut tadi bisa jadi adalah bentuk pecel-pecelan jenis baru yang hybrid sekaligus kosmopolit di Jawa abad 19an.  Perlu diketahui pula ada kuliner yang telah lama hilang yakni plencing yaitu pecel sayur dengan bumbu rujak seperti di atas yang dikucurin jeruk pecel/nipis. Rujak cingur bisa jadi adalah varian dari inovasi semacam ini.

Catatan yang menarik adalah bahwa penjaja atau penjual rujak, urapan, dan pecel dahulu kala biasanya satu paket. Karenanya yang paling tertuduh sebagai pencipta bumbu pecel kacang untuk pecel sayur yang kita kenal sekarang ini adalah para penjual rujak pecel ini. Pecel sayur yang mungkin mulanya digado kemudian disajikan dengan teman lontong, kupat, atau nasi. Bumbu urapan dari kukusan parutan kelapa tak terlalu tua (yang terbumbui dengan garam, bawang putih, [tanpa atau] pakai terasi atau yang terbumbui dengan garam dan cabai serta gula merah) yang biasa disajikan di urapan atau godhangan masih bisa ikut hadir dalam pecel sayur.

Dikaranakan pasar telah luas dan permintaan juga banyak maka ide untuk masalah kepraktisan dan keawetan bumbu pecel kacang (sebagaimana wijen) inipun berevolusi menjadi paket padat yang terdiri dari gula merah, kacang tanah, bawang putih, terasi, kencur, daun jeruk purut ditemukan dengan teknik sangrai tanpa minyak dan goreng lalu kemudian semua dihaluskan untuk disimpan. Seiring dengan selera penjual dan pembeli maka bumbu pecel kacang inipun bermutasi dari yang pakai terasi menjadi tidak pakai terasi hingga pakai kencur dan tidak pakai kencur; atau kacang digoreng dengang kulit arinya atau kacang dikupas dulu kulit arinya. Memakai komposisi lebih banyak kacang atau gula merahnya, hingga sedikit banyaknya memakai daun jeruk purutnya.

Jadi kesimpulannya yang disebut pecel adalah makanan yang disajikan dengan bumbu yang disiramkan!      
 
2. Mengapa masyarakat menjadikan pecel sbg sarapan pagi? Apa ada nilai tertentu?
Dalam tradisi kuliner Nusantara spertinya tidak mengenal banget perbedaan selera elit dengan rakyat biasa dan tidak ada pula perbedaan signifikan waktu untuk memakan atau meminum sesuatu. Ini terlihat makanan yang disukai oleh raja juga makanan yang disukai orlah rakyat jelata lihat saja rawon, lelawar, hingga pecel. Bahkan dari buku resep Kartini (Ganie, 2005) di masa kolonial pun tampak tak ada bedanya makanan di lingkungan priyayi dan rakyat biasa. Selain hal tersebut, bisa jadi karena pengaruh iklim yang mengenal dua musim saja yakni musim panas dan hujan sehingga pagi, siang, sore dan malam maka orang Jawa tidak ketat perhatiannya dalam dietry atau tata budaya makannya. Hanya ikuti selera dingin di kala hawa panas dan selera hangat di kala hawa dingin. Tidak heran bilamana pecel atau kuliner lainnya dapat muncul di setiap waktu atau di waktu tertentu saja tergantung selera politik ekokultural masing-masing daerah. Tak ada nilai spesifik secara kultural maupun medik dalam menikmati pecel atau kuliner lainnya. Baru dimasa modern setelah kesadaran akan gizi dan vitamin serta kini dengan jargon mengandung serat alami maka kuliner pecel menjadi salah satu primadona yang digadang penuhi kriteria makanan sehat. Itupun dengan catatan tidak semeriah menikmatinya ala pecel Madiun yang bersama-sama jerohan dan sate-satean yang penuh lemak kolestrol.   

3. Sebaran pecel ke mana saja pak? Mengapa ada perbedaan sedikit antara pecel satu daerah dg daerah lain, seperti pecel madiun (kelebihannya pada daun jeruk) dan pecel malang (bumbu pakai kencur?
Dari Centhini (selesai 1814) pecel sudah tersebar dihampir seluruh pulau Jawa meskipun dalam artian menu pecel ayamnya daripada pecel sayurnya. Namun, bisa dipastikan bahwa pecel sayur kini tersebar di mana ada etnis Jawa Tengahan dan Timuran berada. Karena dari Centhini pula dapat dilihat pecel sayuran ditemukan di Jawa Tengah Selatan kemudian sepertinya menyebar ke Tengah dan Timur lainnya. Bisa jadi paska perang Diponegoro (1825-1830) bersama pasukannyalah kuliner semacam ini ikut tersebar, yang kemudian berevolusi dengan selera dan citarasa lokalnya masing-masing.
Sepertinya hanya bumbu pecel Madiun yang tidak memakai terasi dan kencur serta dimasak khas dengan mengsarai bumbu utamanya yakni cabe rawit, daun jeruk, dan bawang putih (?) di atas cobek tanah. Sementara kacang tanahnya oleh sebagaian besar orang Madiun dikupas terlebih dahulu kulit arinya lalu digoreng, semuanya itu lalu ditumbuk dengan garam, gula merah (dan asam jawa?)  Hingga pada tahun-tahun 90an akhir, citarasa bumbu pecel Madiun cenderung pedas dan gurih (asin) namun kini sepertinya berubah lebih manis. Sementara bumbu pecel Jawa Timuran dan Tengahan lainnya kacang tanahnya digoreng dengan kulit arinya. Bumbu-bumbu pecel lainnya ini lebih praktis dengan menggoreng semua bumbu (bawang putih, terasi, daun jeruk purut, dan cabe) lalu ditumbuk hingga halus atau setengah halus dengan mencampur kacang tanah yang telah digoreng utuh dengan kulit arinya bersama asam jawa, gula merah dan garam secukupnya. Bumbu pecel daerah Jawa Tengah dan Timuran kebanyakan juga memakai asam jawa jadi bagian dari bumbunya. Bumbu pecel jenis terakhir ini termasuk juga bumbu pecel yang ada di Malang (sebab perlu penelitian lanjut apakah itu benar khas dari Malang dan tahun berapa ada? dari mana asalnya?)   
Jadi bumbu pecel malang tidaklah khas banget karena memakai bumbu yang umum, bumbu pecel Madiun bisa dipastikan yag paling khas karena tanpa terasi dan kencur dan dengan teknik sangrai di atas cobek tanah.
Rujukan

Cornelia, N. (1864). Kokki Bitja, atau, Kitab masak-masakan India, jang baharoe dan samporna ... Lange & Company.
Ganie, S. N. (2005). Kisah dan kumpulan resep putri Jepara: rahasia kuliner R.A. Kartini, R.A. Kardinah, R.A. Roekmini. Jakarta: Gaya Favorit Press.
Hinzler, H.I.R., (2016). ETEN EN DRINKEN IN JAVA AD EN ERNA. Nieuwe Kerk PDF. (n.d.). Retrieved May 12, 2019, from https://docplayer.nl/18187402-Eten-en-drinken-in-java-800-1600-ad-en-erna-h-i-r-hinzler-nieuwe-kerk-2006.html
Ketaren, Indrakarona. (2017). GASTRONOMI - UPABOGA INDONESIA. Jakarta:  Indonesian Gastronomy Association (IGA)
Swandayani, A. (1989). Makanan dan minuman dalam masyarakat Jawa kuno abad 9-10 M : suatu kajian berdasarkan sumber prasasti dan naskah (Universitas Indonesia). Retrieved from http://lib.ui.ac.id


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gus Baha' memohon ijazah kitab

DAFTAR MAKAM SESEPUH / ULAMA DI KECAMATAN SIDOARJO KOTA, KABUPATEN SIDOARJO

Kyai Ngali Muntoha Nglames Madiun